Menyembuhkan Islamophobia Dari Dalam Diri
Segala puji bagi Allah, demikian Allah SWT telah memperkenalkan tanda-tanda keagungan-Nya di dalam Al-Qur’an dan semua itu ada bukti nyata akan tanda-tanda keagungan-Nya yang nampak dalam alam kehidupan riil manusia.
Kata JIL: Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan
Segala puji bagi Allah, shalawat dan salam semoga senantiasa tercurah
kepada Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, sahabat dan seluruh
pengikutnya yang selalu tekun mengikuti jalan petunjuk-Nya. Amien
Banyak kelainan-kelainan ragawi sering diderita manusia, misalnya ada
orang yang phobi untuk melihat dari atas ketinggian, ada lagi yang
phobi terhadap serangga-serangga, ada lagi orang yang phobi dengan cuaca
ekstrem yang disertai angin kencang dan petir, ada lagi orang yang
phobi pada kejadian lakalantas. Bahkan ada orang yang phobi makan hewan
hasil piaraan sendiri, dst-dst, yang semuanya tumbuh dari perasaan,
yakni perasaan tidak sampai hati atau perasaan takut.
Islamophobia termasuk bagian penyakit jiwa yang sering menyerang umat
manusia, dan dapat mengenai setiap manusia siapa saja. Penyakit ini
bisa berderajad ringan, namun juga bisa berderajad parah, Allah
menyatakan dalam firman-Nya
.
.
Apa yang telah Kami ceritakan itu), itulah yang benar,
yang datang dari Tuhanmu, karena itu janganlah kamu termasuk orang-orang
yang ragu. (QS. 3:60)
Berkatalah Rasul:”Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku telah menjadikan al-Qur’an ini sesuatu yang diabaikan”. (QS. 25:30)
Maka apakah kamu menganggap remeh saja Al-Qur’an ini, (QS. 56:81)
Sesungguhnya orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, mereka termasuk orang-orang yang sangat hina. (QS. 58:20)
Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka
sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan
melampaui batas tanpa pengetahuan. Demikianlah Kami jadikan setiap umat
menganggap baik pekerjaan mereka. Kemudian kepada Tuhan mereka kembali
mereka, lalu Dia memberitakan kepada mereka apa yang dahulu mereka
kerjakan. (QS. 6:108)
.
Penyakit Islamophobia bisa berujud dalam bentuk keraguan kepada petunjuk Allah, atau mengabaikan terhadap petunjuk-petunjuk Allah, atau meremehkan petunjuk-petunjuk Allah, atau dapat juga berbentuk penentangan kepada aturan-aturan Allah dan bahkan dapat pula berupa menghujat kepada Allah SWT Tuhan semesta Alam.
Penyakit Islamophobia bisa berujud dalam bentuk keraguan kepada petunjuk Allah, atau mengabaikan terhadap petunjuk-petunjuk Allah, atau meremehkan petunjuk-petunjuk Allah, atau dapat juga berbentuk penentangan kepada aturan-aturan Allah dan bahkan dapat pula berupa menghujat kepada Allah SWT Tuhan semesta Alam.
Allah SWT, Dia-lah yang telah menciptakan umat manusia, namun ketika
Allah berkehendak menunjuki manusia ke jalan keselamatan, jalan
kebenaran, jalan ampunan dan jalan rahmat-Nya muncul berbagai
sikap-sikap negatip sebagaimana ayat-ayat tersebut, dan kita berlindung
kepada Allah semoga kita dijauhkan dari sikap yang demikian.
Segala puji bagi Allah, sungguh Allah Tuhan semesta Alam, Tuhan yang
Maha pengasih dan Maha Penyayang telah memperkenalkan diri kepada umat
manusia lewat Rasulullah Muhammad SAW dengan surat Al-Faatihah yang
artinya adalah
.
Dengan menyebut nama Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:1)
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, (QS. 1:2)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3)
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1:4)
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1:7)
Segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam, (QS. 1:2)
Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. (QS. 1:3)
Yang menguasai hari pembalasan. (QS. 1:4)
Hanya Engkaulah yang kami sembah dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (QS. 1:5)
Tunjukilah kami jalan yang lurus, (QS. 1:6)
(yaitu) jalan orang-orang yang telah Engkau anugerahkan nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat. (QS. 1:7)
.
Allah Tuhan pencipta semesta Alam telah memberitahu kepada manusia tentang siapa Dia dan bagaimana seharusnya manusia mensyukuri petunjuk Allah yang diberikan kepada kita umat manusia.
Allah Tuhan pencipta semesta Alam telah memberitahu kepada manusia tentang siapa Dia dan bagaimana seharusnya manusia mensyukuri petunjuk Allah yang diberikan kepada kita umat manusia.
Allah Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang menyadarkan umat
manusia agar selalu mengenal-Nya, karena Dialah Allah Tuhan Pencipta
Semesta Alam, Tuhan yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Allah, Dialah
Tuhan Yang Maha Terpuji, tidak memiliki kekurangan, Dan Allah
menjelaskan kepada manusia agar manusia hanya menyembah dan berbakti
kepada Allah. Dialah Allah yang telah memberi kepada kita kesempatan
untuk hidup di muka bumi sebagai manusia, dan kepada-Nya pula kita akan
kembali untuk dimintai pertanggung jawaban oleh-Nya.
Allah memerintah manusia agar hidup selalu berbakti hanya kepada-Nya
dan selalu menetapi iman dan amal sholih, yang akan mendatangkan kasih
sayang dan perlindungan Allah kepada manusia, dan sekaligus manusia
diperintah untuk selalu berlindung kepada Allah dari segala
penyimpangan-penyimpangan yang biasa terjadi di dalam mengarungi
kehidupan. Manusia diperintah untuk selalu memohon perlindungan agar
selalu dapat hidup di jalan yang lurus, jalan yang benar, jalan selamat
dan jalan bahagia.
Bila manusia semakin mendalam membaca dan menghayati Al-Qur’an, maka
didalamnya akan semakin diketahui siapa Allah Tuhan semesta Alam,
diantarannya dalam firman-Nya yang artinya
.
.
Semua yang berada di langit dan yang berada di bumi
bertasbih kepada Allah (menyatakan kebesaran Allah). Dan Dialah Yang
Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana. (QS. 57:1)
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 57:2)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 57:3)
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 57:4)
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. (QS. 57:5)
Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. 57:6)
Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi. Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 57:2)
Dialah Yang Awal dan Yang Akhir Yang Zhahir dan Yang Bathin; dan Dia Maha Mengetahui segala sesuatu. (QS. 57:3)
Dialah yang menciptakan langit dan bumi dalam enam masa; Kemudian Dia bersemayam di atas ‘arsy dia mengetahui apa yang masuk ke dalam bumi dan apa yang ke luar daripadanya dan apa yang turun dari langit dan apa yang naik kepadanya. Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. 57:4)
Kepunyaan-Nya-lah kerajaan langit dan bumi, Dan kepada Allah-lah dikembalikan segala urusan. (QS. 57:5)
Dialah yang memasukkan malam ke dalam siang dan memasukkan siang ke dalam malam. Dan Dia Maha Mengetahui segala isi hati. (QS. 57:6)
.
Bukti-bukti kebenaran akan keAgungan Allah akan mudah dilihat dengan panca indra manusia, namun yang lebih tepat melihat tanda-tanda keagungan Allah adalah dengan indra kebersihan mata hati (hati nurani), hati yang bersih dari segala perbuatan dosa.
.
Bukti-bukti kebenaran akan keAgungan Allah akan mudah dilihat dengan panca indra manusia, namun yang lebih tepat melihat tanda-tanda keagungan Allah adalah dengan indra kebersihan mata hati (hati nurani), hati yang bersih dari segala perbuatan dosa.
.
Maka Dia menjadikannya tujuh langit dalam dua masa dan
Dia mewahyukan pada tiap-tiap langit urusannya. Dan Kami hiasi langit
yang dekat dengan bintang-bintang yang cemerlang dan Kami memeliharanya
dengan sebaik-baiknya. Demikianlah ketentuan Yang Maha Perkasa lagi Maha
Mengetahui. (QS. 41:12)
Dan langit itu Kami bangun dengan kekuasaan (Kami) dan sesungguhnya Kami benar-benar meluaskannya. (QS. 51:47)
Dan di antara ayat-ayat (tanda-tanda kekuasaan)-Nya ialah
menciptakan langit dan bumi dan makhluk-makhluk yang melata yang Dia
sebarkan pada keduanya. Dan Dia Maha Kuasa mengumpulkan semuanya apabila
dikehendaki-Nya. (QS. 42:29)
Dan Allah telah menciptakan semua jenis hewan dari air,
maka sebagian dari hewan itu ada yang melata di atas perutnya dan
sebagian berjalan dengan dua kaki, sedang sebagian (yang lain) berjalan
dengan empat kaki: Allah menciptakan apa yang dikehendaki-Nya,
sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. 24:45)
Dan di bumi ini terdapat bagian-bagian yang berdampingan,
dan kebun-kebun anggur, tanaman-tanaman dan pohon korma yang bercabang,
disirami dengan air yang sama. Kami melebihkan sebagian tanam-tanaman
itu atas sebagian yang lain tentang rasanya.Sesungguhnya pada yang
demikian itu terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang
berfikir. (QS. 13:4)
.Segala puji bagi Allah, demikian Allah SWT telah memperkenalkan tanda-tanda keagungan-Nya di dalam Al-Qur’an dan semua itu ada bukti nyata akan tanda-tanda keagungan-Nya yang nampak dalam alam kehidupan riil manusia.
Allah SWT, dialah Allah Tuham pencipta semesta Alam yang berkehendak
memilih Rasulnya dari bangsa Arab, yaitu rasulullah Muhammad SAW.
.
.
Dan mereka berkata:”Mengapa al-Qur’an ini tidak
diturunkan kepada seorang besar dari salah satu dua negeri (Mekah dan
Thaif) ini (QS. 43:31)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. 43:32)
Apakah mereka yang membagi-bagi rahmat Tuhanmu Kami telah menentukan antara mereka penghidupan mereka dalam kehidupan dunia, dan Kami telah meninggikan sebahagian mereka atas sebahagian yang lain beberapa derajat, agar sebahagian mereka dapat mempergunakan sebahagian yang lain.Dan rahmat Tuhanmu lebih baik dari apa yang mereka kumpulkan. (QS. 43:32)
.
Allah Tuhan semesta Alam berkehendak memilih rasulnya seseorang dari bangsa Arab, dan dialah Rasulullah Muhammad SAW, yang muncul dari keturunan bangsawan, namun muncul dari keadaan yang penuh dengan keterbatasan materi. Dan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui akan segala rahasianya.
Allah Tuhan semesta Alam berkehendak memilih rasulnya seseorang dari bangsa Arab, dan dialah Rasulullah Muhammad SAW, yang muncul dari keturunan bangsawan, namun muncul dari keadaan yang penuh dengan keterbatasan materi. Dan Allah yang Maha Bijaksana dan Maha Mengetahui akan segala rahasianya.
Segala puji bagi Allah, Dialah Tuhan yang Maha Esa dan Maha Kuasa,
Tuhan Semesta Alam, Tuhan langit dan bumi, Tuhan Yang Maha Kekal. Allah
pula yang menjelaskan kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi dengan
terangkatnya Rasulullah Muhammad sebagai Rasul-Nya diantaranya dalam
firman Allah yang artinya
.
.
Dan demikianlah, Kami telah menurunkan al-Qur’an itu
sebagai peraturan (yang benar) dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu
mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka
sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu terhadap (siksa)
Allah. (QS. 13:37)
Ataukah mereka dengki kepada manusia (Muhammad) lantaran
karunia yang Allah telah berikan kepadanya Sesungguhnya Kami telah
memberikan Kitab dan Hikmah kepada keluarga Ibrahim, dan Kami telah
memberikan kepadanya kerajaan yang besar. (QS. 4:54)
Dan demikianlah Kami menurunkan al-Qur’an dalam bahasa
Arab, dan Kami telah menerangkan dengan berulang kali di dalamnya
sebahagian ancaman, agar mereka bertaqwa atau (agar) al-Qur’an itu
menimbulkan pengajaran bagi mereka. (QS. 20:113)
Dan sebelum al-Qur’an itu telah ada kitab Musa sebagai
petunjuk dan rahmat.Dan ini (al-Qur’an) adalah kitab yang membenarkannya
dalam bahasa Arab untuk memberi peringatan kepada orang-orang yang
zalim dan memeri kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.
(QS. 46:12)
.
Berbahagialah bagi orang-orang yang dapat segera mensyukuri karunia Allah berupa kitab suci Al-Qur’anul Karim, setelah dibaca dalam huruf Arabnya, lalu dibaca penjelasan-penjelasannya, terjemahannya, dan penerangan-penerangan dari ayat-ayat tersebut, dan merasakan kesejukan dihatinya.
Berbahagialah bagi orang-orang yang dapat segera mensyukuri karunia Allah berupa kitab suci Al-Qur’anul Karim, setelah dibaca dalam huruf Arabnya, lalu dibaca penjelasan-penjelasannya, terjemahannya, dan penerangan-penerangan dari ayat-ayat tersebut, dan merasakan kesejukan dihatinya.
Al-Qur’an adalah firman-firman Allah yang menuntun manusia menuju
kebahagiaan, menuju ketinggian, petunjuk jalan untuk mendekat kepada
Allah Tuhan Yang Maha Suci dan Maha Tinggi, Tuhan Yang Maha Mulia, Tuhan
Yang Maha Pengasih dan Penyayang, Tuhan Yang Maha Kaya, sebagaimana Dia
Allah meperkenalkan diri kepada manusia dengan 99 Asmaul Husna.
.
.
Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan
kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada
cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan
Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS. 14:1)
.
Begitu kasih sayang Allah kepada Umat manusia, marilah kita sambut kasih sayang Allah itu dengan penuh kesyukuran dengan cara kita selalu membacanya, menghayatinya dan mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan insyaAllah kita akan selalu ada dalam ampunan-Nya, perlindungan-Nya dan rahmat-Nya, di dunia dan di akherat.
Begitu kasih sayang Allah kepada Umat manusia, marilah kita sambut kasih sayang Allah itu dengan penuh kesyukuran dengan cara kita selalu membacanya, menghayatinya dan mengamalkan segala perintah-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya, dan insyaAllah kita akan selalu ada dalam ampunan-Nya, perlindungan-Nya dan rahmat-Nya, di dunia dan di akherat.
Namun bila kita enggan bersyukur dengan nikmat Allah yang begitu
Agung dan Mulia maka sepertinya kita ini adalah orang yang sedang
terbelit dengan kesesatan, dan bahkan mungkin dalam diri kita sedang
mengalami peradangan infeksi penyakit Islamophobia, Sebagaimana orang
yang sedang sakit mata, maka mereka sangat membenci cahaya yang terang
benderang. Demikian pula gejala-gejala penyakit Islamophobia dalam diri
seseorang, Allah menyampaikan dalam firman-Nya yang artinya
.
.
Dan di antara mereka ada orang yang mendengarkan
(bacaan)mu, padahal Kami telah meletakkan tutupan di atas hati mereka
(sehingga mereka tidak) memahaminya dan (Kami letakkan) sumbatan di
telinganya. Dan jika pun mereka melihat segala tanda (kebenaran), mereka
tetap tidak mau beriman kepadanya. Sehingga apabila mereka datang
kepadamu untuk membantahmu, orang-orang kafir itu berkata:”al-Qur’an ini
tidak lain hanyalah dongengan orang-orang dahulu”. (QS. 6:25)
Dan Kami turunkan dari al-Qur’an suatu yang menjadi
penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan al-Qur’an itu
tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian. (QS.
17:82)
Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia
berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya,
seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah
dia dengan azab yang pedih. (QS. 31:7)
.
Secara mudah dan gamblang Allah menjelaskan kepada kita agar penyakit Islamophobia itu lenyap dari diri kita maka, kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasan kezaliman, perbuatan zalim, baik yang kita sengaja atau sesuatu yang sudah mendarah daging menjadi perbuatan kita sehari-hari akan dapat memunculkan gejala Islamophobia.
Secara mudah dan gamblang Allah menjelaskan kepada kita agar penyakit Islamophobia itu lenyap dari diri kita maka, kita harus meninggalkan kebiasaan-kebiasan kezaliman, perbuatan zalim, baik yang kita sengaja atau sesuatu yang sudah mendarah daging menjadi perbuatan kita sehari-hari akan dapat memunculkan gejala Islamophobia.
Agama Islam mengajak manusia untuk mendapatkan selamat dan bahagia di
dunia dan di akherat, kenapa kita meragukannya ????, atau bahkan kita
membencinya ???, coba kita renungi lagi kezaliman-kezaliman apa yang
telah kita lakukan kepada sesama manusia atau bahkan kepada Allah Tuhan
semesta Alam,
Bila kita telah menjauhi kezaliman-kezaliman itu dan kita telah
bertaubat kepada Allah, dan telah di terima Taubat kita oleh-Nya maka
Al-Qur’an dan As-Sunnah, Al-Islam akan terasa sangat sejuk dan
membahagiakan di sepanjang kehidupan kita di dunia dan di akherat.
.
.
Allah telah menurunkan perkataan yang paling baik (yaitu)
al-Qur’an yang serupa (mutu ayat-ayatnya) lagi berulang-ulang, gemetar
karenanya kulit orang-orang yang takut kepada Tuhannya, kemudian menjadi
tenang kulit dan hati mereka diwaktu mengingat Allah. Itulah petunjuk
Allah, dengan kitab itu Dia menunjuki siapa yang dikehendaki-Nya. Dan
barangsiapa yang disesatkan Allah, maka tidak ada seorangpun pemberi
petunjuk baginya. (QS. 39:23)
.
Alangkah bahaginya bila kita manusia bisa meraskan tanda-tanda ke
Agungan Allah di hati kita disepanjang hidup kita di Dunia ini, dan
betapa bahagianya bila ibadah kita dan puji-pujian dan pengagungan kita
kepada-Nya di terima dan dibalas oleh Allah dengan balasan dengan
kehidupan yang lapang dan luas menerima hidayah Allah, sungguh hidup
kita benar-benar hidup yang mulia dan bahagia.
.
.
Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada
kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (QS.
10:62)
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. 10:63)
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. 10:64)
.
(Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. (QS. 10:63)
Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akhirat. Tidak ada perobahan bagi kalimat-kalimat (janji-janji) Allah. Yang demikian itu adalah kemenangan yang besar. (QS. 10:64)
.
Walhasil penyakit Islamophobia bisa kita bersihkan dari hati kita
bila kita dengan tekun dan berusaha sekuat tenaga meninggalkan segala
kezaliman-kezaliman yang telah membelenggu dan mendarah daging dalam
diri kita. Dengan cara itu insya Allah kita akan dapat merasakan
sejuknya Islam dan sejuknya bimbingan Allah dan Rasulnya, bimbingan
Al-Qur’an dan as-Sunnah. Wallahu a’lam.
Kata JIL: Jilbab Bukan Kewajiban Namun Pilihan
Jilbab adalah masalah fundamental yang bukanlah masalah furu’iyyah
sebagaimana dikira segelintir orang. Sampai-sampai para ulama berkata
bahwa siapa yang menentang wajibnya jilbab, maka ia kafir dan murtad.
Sedangkan orang yang tidak mau mengenakan jilbab karena mengikuti
segelintir orang tanpa mengingkari wajibnya, maka ia adalah orang yang
berdosa, namun tidak kafir.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Jilbab
Allah Ta’ala berfirman,
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“.
Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu
mereka tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59). Ayat ini menunjukkan wajibnya jilbab bagi seluruh wanita muslimah.
Ayat lain yang menunjukkan wajibnya jilbab,
قُلْ
لِلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْ وَيَحْفَظُوا فُرُوجَهُمْ
ذَلِكَ أَزْكَى لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا يَصْنَعُونَ (30)
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ وَيَحْفَظْنَ
فُرُوجَهُنَّ وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ وَلَا يُبْدِينَ
زِينَتَهُنَّ إِلَّا لِبُعُولَتِهِنَّ أَوْ آَبَائِهِنَّ أَوْ آَبَاءِ
بُعُولَتِهِنَّ أَوْ أَبْنَائِهِنَّ أَوْ أَبْنَاءِ بُعُولَتِهِنَّ أَوْ
إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي إِخْوَانِهِنَّ أَوْ بَنِي أَخَوَاتِهِنَّ أَوْ
نِسَائِهِنَّ أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُنَّ أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ
أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ
يَظْهَرُوا عَلَى عَوْرَاتِ النِّسَاءِ وَلَا يَضْرِبْنَ بِأَرْجُلِهِنَّ
لِيُعْلَمَ مَا يُخْفِينَ مِنْ زِينَتِهِنَّ وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ
جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (31)
“Katakanlah kepada orang laki-laki
yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya, dan memelihara
kemaluannya; yang demikian itu adalah lebih suci bagi mereka,
sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang mereka perbuat”. Katakanlah
kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya, dan
kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya. Dan hendaklah mereka
menutupkan kain kudung ke dadanya, dan janganlah menampakkan
perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka,
atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera
suami mereka, atau saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera
saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau
wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau
pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap
wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. Dan
janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang
mereka sembunyikan. Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai
orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.” (QS. An Nur: 30-31).
Dalil yang menunjukkan wajibnya jilbab adalah hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
عَنْ أُمِّ
عَطِيَّةَ قَالَتْ أُمِرْنَا أَنْ نُخْرِجَ الْحُيَّضَ يَوْمَ الْعِيدَيْنِ
وَذَوَاتِ الْخُدُورِ ، فَيَشْهَدْنَ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِينَ
وَدَعْوَتَهُمْ ، وَيَعْتَزِلُ الْحُيَّضُ عَنْ مُصَلاَّهُنَّ . قَالَتِ
امْرَأَةٌ يَا رَسُولَ اللَّهِ ، إِحْدَانَا لَيْسَ لَهَا جِلْبَابٌ .
قَالَ « لِتُلْبِسْهَا صَاحِبَتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا »
Dari Ummu ‘Athiyyah, ia berkata, “Pada
dua hari raya, kami diperintahkan untuk mengeluarkan wanita-wanita haid
dan gadis-gadis pingitan untuk menghadiri jamaah kaum muslimin dan doa
mereka. Tetapi wanita-wanita haid harus menjauhi tempat shalat mereka.
Seorang wanita bertanya:, “Wahai Rasulullah, seorang wanita di antara kami tidak memiliki jilbab (bolehkan dia keluar)?” Beliau menjawab, “Hendaklah kawannya meminjamkan jilbabnya untuk dipakai wanita tersebut.” (HR. Bukhari no. 351 dan Muslim no. 890).
Para ulama sepakat (berijma’) bahwa
berjilbab itu wajib. Yang mereka perselisihkan adalah dalam masalah
wajah dan kedua telapak tangan apakah wajib ditutupi.
Inilah Jilbab Yang Sebenarnya
Apa Itu Jilbab?
Dalam Lisanul ‘Arob, jilbab adalah
pakaian yang lebar yang lebih luas dari khimar (kerudung) berbeda dengan
selendang (rida’) dipakai perempuan untuk menutupi kepala dan dadanya.
Jadi kalau kita melihat dari istilah bahasa itu sendiri, jilbab adalah
seperti mantel karena menutupi kepala dan dada sekaligus.
Ibnu Katsir rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah pakaian atas (rida’) yang menutupi
khimar. Demikian yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud, ‘Ubaidah, Al Hasan Al
Bashri, Sa’id bin Jubair, Ibrahim An Nakho’i, dan ‘Atho’ Al Khurosaani.
Untuk saat ini, jilbab itu semisal izar (pakaian bawah). Al Jauhari
berkata bahwa jilbab adalah “milhafah” (kain penutup).
Asy Syaukani rahimahullah
berkata bahwa jilbab adalah pakaian yang ukurannya lebih besar dari
khimar. Ada ulama yang katakan bahwa jilbab adalah pakaian yang menutupi
seluruh badan wanita. Dalam hadits shahih dari ‘Ummu ‘Athiyah, ia
berkata, “Wahai Rasulullah, salah seorang di antara kami tidak memiliki
jilbab.” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas bersabda,
لِتُلْبِسْهَا أُخْتُهَا مِنْ جِلْبَابِهَا
“Hendaklah saudaranya mengenakan jilbab untuknya.” Al Wahidi mengatakan bahwa pakar tafsir mengatakan, “Yaitu hendaklah ia menutupi wajah dan kepalanya kecuali satu mata saja.”
Ibnul Jauzi rahimahullah dalam Zaadul
Masiir memberi keterangan mengenai jilbab. Beliau nukil perkataan Ibnu
Qutaibah, di mana ia memberikan penjelasan, “Hendaklah wanita itu
mengenakan rida’nya (pakaian atasnya).” Ulama lainnya berkata,
“Hendaklah para wanita menutup kepala dan wajah mereka, supaya
orang-orang tahu bahwa ia adalah wanita merdeka (bukan budak).”
Syaikh As Sa’di rahimahullah
menerangkan bahwa jilbab adalah milhafah (kain penutup atas), khimar,
rida’ (kain penutup badan atas) atau selainnya yang dikenakan di atas
pakaian. Hendaklah jilbab tersebut menutupi diri wanita itu, menutupi
wajah dan dadanya.
Kita pun dapat menyaksikan praktek jilbab di masa salaf dahulu.
قال علي بن أبي
طلحة، عن ابن عباس: أمر الله نساء المؤمنين إذا خرجن من بيوتهن في حاجة أن
يغطين وجوههن من فوق رؤوسهن بالجلابيب، ويبدين عينًا واحدة.
‘Ali bin Abi Tholhah berkata, dari Ibnu
‘Abbas, ia berkata, “Allah telah memerintahkan kepada wanita beriman
jika mereka keluar dari rumah mereka dalam keadaan tertutup wajah dan
atas kepala mereka dengan jilbab dan yang nampak hanyalah satu mata.”
وقال محمد بن
سيرين: سألت عَبيدةَ السّلماني عن قول الله تعالى: { يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ
مِنْ جَلابِيبِهِنَّ } ، فغطى وجهه ورأسه وأبرز عينه اليسرى.
Muhammad bin Sirin berkata, “Aku pernah
bertanya pada As Salmani mengenai firman Allah Ta’ala (yang artinya),
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”, lalu
beliau berkata, “Hendaklah menutup wajah dan kepalanya, dan hanya
menampakkan mata sebelah kiri.”
Pandangan Kalangan Liberal Mengenai Jilbab
Salah satu tokoh JIL (Jaringan Islam
Liberal), Siti Musdah Mulia, Guru Besar UIN Syarif Hidayatullah
(Ciputat, Banten) punya beberapa pendapat yang nyleneh mengenai jilbab dan ia terkenal dengan pemikiran kebebasannya. Dalam talkshow dan bedah buku yang berjudul “Psychology of Fashion: Fenomena Perempuan (Melepas Jilbab)”, juga di forum lainnya, beliau mengeluarkan beberapa pendapat kontroversial mengenai jilbab yang kami rinci sebagai berikut:
Pertama:
Menurut Bu Profesor Musdah Mulia, guru besar Universitas Islam Negeri
(UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, realitas sosiologis di masyarakat,
jilbab tidak menyimbolkan apa-apa, tidak menjadi lambang kesalehan dan
ketakwaan. Tidak ada jaminan bahwa pemakai jilbab adalah perempuan
shalehah, atau sebaliknya perempuan yang tidak memakai jilbab bukan
perempuan shalehah. Jilbab tidak identik dengan kesalehan dan ketakwaan
seseorang.
Sanggahan:
Bagaimana mungkin kita katakan jilbab
bukanlah lambang kesalehan dan ketakwaan. Orang liberal biasa hanya
pintar berkoar-koar tetapi tidak pernah ilmiah. Kalau mau ilmiah, yah
seharusnya berhujjah dengan dalil. Ibnul Qayyim menukilkan perkataan
seorang penyair:
العلم قال الله قال رسوله
“Ilmu adalah apa kata Allah, apa kata Rasul-Nya.” Jadi kalau bukan Al Qur’an dan hadits yang dibawa namun hanya pintar omong, maka itu berarti tidak ilmiah.
Bagaimana dikatakan berjilbab bukan lambang ketakwaan? Sedangkan takwa sebagaimana kata Tholq bin Habib,
التَّقْوَى :
أَنْ تَعْمَلَ بِطَاعَةِ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ اللَّهِ تَرْجُو
رَحْمَةَ اللَّهِ وَأَنْ تَتْرُكَ مَعْصِيَةَ اللَّهِ عَلَى نُورٍ مِنْ
اللَّهِ تَخَافَ عَذَابَ اللَّهِ
“Takwa: engkau melakukan ketaatan
pada Allah atas cahaya dari Allah dalam rangka mengharap rahmat Allah
dan engkau meninggalkan maksiat pada Allah atas cahaya dari Allah dalam
rangka takut akan adzab Allah.” Bukankah kewajiban mengenakan jilbab sudah diperintahkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka“ (QS. Al Ahzab: 59). Juga dalam ayat,
وَلْيَضْرِبْنَ بِخُمُرِهِنَّ عَلَى جُيُوبِهِنَّ
“Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung ke dadanya”(QS. An Nur: 31). Ini jelas perintah dan menjalankan perintah adalah bagian dari ketakwaan dan bentuk taat pada Allah.
Enggan berjilbab jelas termasuk maksiat karena dalam ayat setelah menerangkan sifat mulia wanita yang berjilbab ditutup dengan,
وَتُوبُوا إِلَى اللَّهِ جَمِيعًا أَيُّهَا الْمُؤْمِنُونَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.”
(QS. An Nur: 31). Kalau disuruh bertaubat berarti tidak berjilbab
termasuk maksiat. Lantas bagaimana dikatakan berjilbab bukan bagian dari
takwa? Sungguh aneh jalan pikirannya.
Jika jilbab bukan lambang ketakwaan
karena ada yang berjilbab bermaksiat, maka kita boleh saja menyatakan
shalat juga bukan lambing ketakwaan karena ada yang shalat namun masih
bermaksiat. Namun tidak ada yang berani menyatakan untuk shalat pun
demikian. Jadi, tidak jelas bagaimana cara berpikir para pengagum
kebebasan (orang liberal).
Kata Ibnu Katsir ketika menafsirkan ayat
terakhir di atas, yang namanya keberuntungan diraih dengan melakukan
perintah Allah dan Rasul-Nya dan meninggalkan yang dilarang. Jadi, biar
selamat di akhirat dan selamat dari jilatan neraka, maka berjilbablah.
Kedua:
Bu Profesor yang sangat mengagumi Gus Dur berkata pula, “Tidaklah
keliru jika dikatakan bahwa jilbab dan batas aurat perempuan merupakan
masalah khilafiyah yang tidak harus menimbulkan tuduh menuduh apalagi
kafir mengkafirkan. Mengenakan, tidak mengenakan, atau menanggalkan
jilbab sesungguhnya merupakan pilihan, apapun alasannya. Yang paling
bijak adalah menghargai dan menghormati pilihan setiap orang, tanpa
perlu menghakimi sebagai benar atau salah terhadap setiap pilihan.”
Ibu Musdah menyampaikan pula, “Kalau
begitu, jelas bahwa menggunakan jilbab tidak menjadi keharusan bagi
perempuan Islam, tetapi bisa dianggap sebagai cerminan sikap
kehati-hatian dalam melaksanakan tuntutan Islam. Kita perlu membangun
sikap apresiasi terhadap perempuan yang atas kerelaannya sendiri memakai
jilbab, sebaliknya juga menghargai mereka yang dengan pilihan bebasnya
melepas atau membuka kembali jilbabnya. Termasuk mengapresiasi mereka
yang sama sekali tidak tertarik memakai jilbab.”
Sanggahan:
Waw … satu lagi pendapat yang aneh. Bagaimana bisa dikatakan jilbab adalah suatu pilihan bukan suatu kewajiban?
Ayat-ayat yang menerangkan wajibnya
jilbab sudah jelas. Hadits pun mengiyakannya. Begitu pula ijma’ para
ulama menyatakan wajib bagi wanita menutup seluruh badannya dengan
jilbab kecuali terdapat perselisihan pada wajah dan kedua telapak
tangan. Sebagian ulama menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan juga
wajib ditutup. Sebagaian lain mengatakan bahwa wajah dan telapak tangan
boleh dibuka, namun menutupnya adalah sunnah (bukan wajib). Dalil
keduanya sama-sama kuat, jadi tetap kedua pendapat tersebut mewajibkan
jilbab, namun diperselisihkan manakah yang boleh ditampakkan.
Jadi batasan aurat wanita memang ada
khilaf apakah wajah dan telapak tangan termasuk aurat. Namun para ulama
sepakat akan wajibnya jilbab. Sehingga pendapat Bu Profesor barangkali
perlu dirujuk kembali dan harus membuktikan keilmiahannya, bukan hanya
asal berkoar.
Kalau jilbab telah dinyatakan wajib, maka
tidak ada kata tawar menawar atau dijadikan pilihan. Kalau dipaksakan
dalam Perda agar para pegawai berjilbab, itu langkah yang patut
didukung. Bukan malah seperti kata JIL yang menganggap Perda tersebut
malah mengekang wanita.
Begitu pula tidak boleh mengapresiasi
orang yang memamerkan lekuk tubuhnya, gaya rambut dan pamer aurat.
Karena perbuatan mereka patut diingkari. Jika punya kekuasaan (sebagai
penguasa), maka diingkari dengan tangan. Jika tidak mampu, maka dengan
lisan dan tulisan sebagai peringatan dan pengingkaran. Jika tidak mampu,
maka wajib diingkari dengan hati. Jika dengan hati tidak ada
pengingkaran malah memberikan apresiasi, maka ini jelas tanda
persetujuan pada kemungkaran dan tanda bermasalahnya iman. Nabi shallallahu ‘alaihi wa salam bersabda,
مَنْ رَأَى
مِنْكُمْ مُنْكَرًا فَلْيُغَيِّرْهُ بِيَدِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ
فَبِلِسَانِهِ فَإِنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَبِقَلْبِهِ وَذَلِكَ أَضْعَفُ
الإِيمَانِ
“Barangsiapa di antara kalian melihat
kemungkaran, hendaklah dia merubahnya dengan tangannya. Apabila tidak
mampu, hendaklah dia merubah hal itu dengan lisannya. Apabila tidak
mampu lagi, hendaknya dia ingkari dengan hatinya dan inilah
selemah-lemah iman.” (HR. Muslim no. 49)
Ketiga: Bu Musdah juga mengemukakan kesimpulan dari Forum Pengkajian Islam UIN Sharif Hidayatullah tahun 1998: “Hukum
Islam tidak menunjukkan batas aurat yang wajib ditutup, tetapi
menyerahkan hal itu kepada masing-masing orang sesuai situasi, kondisi
dan kebutuhan.”
Sanggahan:
Ini juga pendapat beliau yang sama dengan
sebelumnya. Kalau demikian adanya, maka berarti terserah kita
menentukan manakah pakaian muslimah. Kalau di Arab pakai abaya dan
hitam-hitam disertai cadar. Kalau di Indonesia, cukup kebaya. Kalau di
Barat, tidak mengapa memakai pakaian renang. Apalagi di musim panas,
cukup pakai celana pendek (yang terlihat paha) dan baju “u can see”.
Karena semua dikembalikan pada individu masing-masing dan dilihat
kondisi dan kebutuhan, tidak ada standar baku. Beda halnya jika yang
jadi patokan adalah firman Allah dan sabda Rasul –shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka jelas patokannya.
Keempat:
Beliau kembali berkata, “Jika teks-teks tentang jilbab tersebut dibaca
dalam konteks sekarang, terlihat bahwa perempuan tidak perlu lagi
memakai jilbab hanya sekadar agar mereka dikenali, atau mereka dibedakan
dari perempuan yang berstatus budak, atau agar mereka tidak diganggu
laki-laki jahat. Di masa sekarang, tidak ada lagi perbudakan, dan busana
bukan ukuran untuk menetapkan identitas seseorang,” tandasnya nyleneh.
Bu Musdah juga mengatakan, “Jika
perlindungan itu tidak dibutuhkan lagi karena sistem keamanan yang sudah
sedemikian maju dan terjamin, tentu perempuan dapat memilih secara
cerdas dan bebas apakah ia masih mau mengenakan jilbab atau tidak.”
Sanggahan:
Yang beliau singgung di sini adalah surat Al Ahzab berikut:
يَا أَيُّهَا
النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ
يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا
“Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin:
“Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka
tidak di ganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al Ahzab: 59)
Mari kita simak kalam ulama salaf mengenai tafsiran ayat di atas.
As Sudi rahimahullah mengatakan,
“Dahulu orang-orang fasik di Madinah biasa keluar di waktu malam ketika
malam begitu gelap di jalan-jalan Madinah. Mereka ingin menghadang para
wanita. Dahulu orang-orang miskin dari penduduk Madinah mengalami
kesusahan. Jika malam tiba para wanita (yang susah tadi) keluar ke
jalan-jalan untuk memenuhi hajat mereka. Para orang fasik sangat ingin
menggoda para wanita tadi. Ketika mereka melihat para wanita yang
mengenakan jilbab, mereka katakan, “Ini adalah wanita merdeka. Jangan
sampai menggagunya.” Namun ketika mereka melihat para wanita yang tidak
berjilbab, mereka katakan, “Ini adalah budak wanita. Mari kita
menghadangnya.”
Mujahid rahimahullah berkata,
“Hendaklah para wanita mengenakan jilbab supaya diketahui manakah yang
termasuk wanita merdeka. Jika ada wanita yang berjilbab, orang-orang
yang fasik ketika bertemu dengannya tidak akan menyakitinya.”
Penjelasan para ulama di atas menerangkan firman Allah mengenai manfaat jilbab,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal.” (QS. Al Ahzab: 59)
Asy Syaukani rahimahullah
menerangkan, “Ayat (yang artinya), ” Yang demikian itu supaya mereka
lebih mudah untuk dikenal”, bukanlah yang dimaksud supaya salah satu di
antara mereka dikenal, yaitu siapa wanita itu. Namun yang dimaksudkan
adalah supaya mereka dikenal, manakah yang sudah merdeka, manakah yang
masih budak. Karena jika mereka mengenakan jilbab, itu berarti mereka
mengenakan pakaian orang merdeka.”
Inilah yang membedakan manakah budak dan
wanita merdeka dahulu. Hal ini menunjukkan bahwa wanita yang tidak
berjilbab berarti masih menginginkan status dirinya sebagai budak.
Bahkan Ibnu Katsir mengatakan bahwa jilbab bertujuan bukan hanya untuk
membedakan dengan budak, bahkan dengan wanita jahiliyah. Sehingga orang
yang tidak berjilbab malah kembali ke zaman jahiliyah. Yang dimaksud
zaman jahiliyah adalah masa sebelum diutusnya Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Disebut jahiliyah karena berada dalam zaman penuh kebodohan dan
kesesatan sebagaimana disebutkan dalam kamus Al Mu’jam Al Wasith.
Coba bandingkan, manakah yang lebih paham
Qur’an, As Sudi dan Mujahid yang terkenal dengan keahliannya dalam ilmu
tafsir dan juga Asy Syaukani yang tidak perlu lagi diragukan ilmunya,
ataukah professor kemarin sore yang biasa memplintir ayat? Tentu saja
yang kita ikuti adalah yang lebih salaf dari Bu Musdah Mulia. Seorang
sahabat yang mulia, ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata,
مَنْ كَانَ مِنْكُمْ مُسْتَنًّا فَلْيَسْتَنَّ بِمَنْ قَدْ مَاتَ فَإِنَّ الْحَيَّ لَا تُؤْمَنُ عَلَيْهِ الْفِتْنَةُ
“Siapa saja di antara kalian yang
ingin mengikuti petunjuk, maka ambillah petunjuk dari orang-orang yang
sudah mati. Karena orang yang masih hidup tidaklah aman dari fitnah.”
Benarlah kata Ibnu Mas’ud, lebih terfitnah lagi atau lebih rusak jika
yang diambil perkataan adalah orang JIL yang muara logikanya tidak jelas
dan tanpa pernah mau merujuk pada dalil atau perkataan ulama, maunya
mengandalkan logikanya saja. Biar kita selamat, ambillah perkataan salaf
daripada mengambil perkataan JIL yang logikanya asal-asalan.
Jikalau mau dikatakan bahwa wanita
muslimah tidak butuh identitas jilbab lagi untuk saat ini. Maka
jawabnya, justru sangat butuh. Karena dengan jilbab seorang wanita lebih
mudah dikenal, ia muslim ataukah bukan. Bahkan lebih mudah dikenal ia
wanita baik-baik ataukah wanita nakal melalui jilbabnya.
Jika Bu Musdah Mulia menganggap bahwa
jilbab hanya bertujuan agar tidak diganggu laki-laki dan sekarang
keamanan wanita sudah terjamin. Jawabnya, sudah terjamin dari mana?
Justru kalau kita buat persentase, yang tidak berjilbab itu yang lebih
banyak jadi korban perkosaan. Maka benarlah firman Allah,
ذَلِكَ أَدْنَى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ
“Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu.” (QS. Al Ahzab: 59). Kita bandingkan perkataan Bu Musdah dengan seorang ulama. Syaikh As Sa’di rahimahullah
berkata, “Ayat di atas menunjukkan, orang yang tidak mengenakan jilbab
akan lebih mudah digoda. Karena jika seorang wanita tidak berjilbab,
maka orang-orang akan mengira bahwa ia bukanlah wanita ‘afifaat (wanita
yang benar-benar menjaga diri atau kehormatannya). Akhirnya orang yang
punya penyakit dalam hatinya muncul hal yang bukan-bukan, lantas mereka
pun menyakitinya dan menganggapnya rendah seperti anggapan mereka itu
budak. Akhirnya orang-orang yang ingin berlaku jelek merendahkannya.”
Apa yang disebutkan oleh Syaikh As Sa’di memang benar dan sesuai realita
di lapangan.
So … apa dengan alasan Bu Musdah
seperti itu, jilbab mesti dilepas karena wanita sekarang tidak butuh
identitas semacam itu? Silakan kita memilih, perkataan Bu Profesor ini
lebih diikuti ataukah firman Allah, sabda Rasul dan perkataan ulama yang
jelas lebih tinggi ilmunya dan pemahaman agamanya dibanding Ibu
Profesor.
Kelima:
“Perempuan beriman tentu secara sadar akan memilih busana sederhana dan
tidak berlebih-lebihan sehingga menimbulkan perhatian publik, dan yang
pasti juga tidak untuk pamer (riya)”, ujar Bu Musdah Mulia.
Sanggahan:
Bagaimana bisa berjilbab disebut riya’? Aneh …
Sebagaimana laki-laki jika ia diwajibkan
shalat jama’ah di masjid, apa kita katakan ia riya’ jika pergi ke
masjid? Jika seseorang ingin pergi shalat ‘ied ke lapangan, apa juga
disebut riya’?
Jadi dengan alasan Bu Musdah, laki-laki
tidak usah pergi ke masjid untuk berjama’ah. Begitu pula kita tidak
perlu shalat ‘ied di tanah lapang karena khawatir riya’.
Justru kita katakan bahwa untuk amalan wajib yang harus ditampakkan, maka wajib ditampakkan.
Kata Al-Izz bin ‘Abdus Salam, amalan yang
disyariatkan untuk ditampakkan seperti adzan, iqomat, ucapan takbir
ketika shalat, membaca Qur’an secara jahr dalam shalat jahriyah
(Maghrib, Isya’ dan Shubuh, pen), ketika berkhutbah, amar ma’ruf nahi
mungkar, mendirikan shalat jum’at dan shalat secara berjamaah, merayakan
hari-hari ‘ied, jihad, mengunjungi orang-orang yang sakit, dan
mengantar jenazah, maka amalan semacam ini tidak mungkin disembunyikan.
Jika pelaku amalan-amalan tersebut takut berbuat riya, maka hendaknya ia
berusaha keras untuk menghilangkannya hingga dia bisa ikhlas dalam
beramal. Sehingga dengan demikian dia akan mendapatkan pahala amalannya
dan juga pahala karena kesungguhannya menghilangkan riya’ tadi, karena
amalan-amalan ini maslahatnya juga untuk orang lain.
Jika demikian, maka jilbab itu wajib ditampakkan dan itu bukanlah riya’. Bahkan kata Fudhail bin ‘Iyadh,
تَرْكُ الْعَمَلِ لِأَجْلِ النَّاسِ رِيَاءٌ وَالْعَمَلُ لِأَجْلِ النَّاسِ شِرْكٌ
“Meninggalkan amalan karena manusia termasuk riya’. Melakukan amalan karena manusia termasuk syirik.”
Keenam:
Bu Musdah Mulia juga berkata, “Memakai jilbab bukanlah suatu kewajiban
bagi perempuan Islam. Itu hanyalah ketentuan Al Qur’an bagi para istri
dan anak-anak perempuan Nabi.”
Sanggahan:
Bagaimana dikatakan jilbab hanya untuk
anak dan istri nabi, sedangkan dalam ayat sudah dijelaskan pula secara
terang bagi wanita beriman,
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ
“Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin …”
(QS. Al Ahzab: 59). Ayat hijab ini secara jelas menunjukkan perintah
tersebut ditujukan pula untuk orang-orang beriman, namun terkhususkan
pada istri dan anak Nabi.
Taruhlah jika perintah tersebut hanya
untuk istri Nabi dan anak-anaknya. Kita dapat berikan jawaban bahwa jika
untuk istri dan anak beliau saja diperintahkan untuk berjilbab padahal
ada Nabi di sini mereka yang jelas mereka lebih terjaga dari gangguan,
maka tentu wanita lainnya lebih pantas untuk menutup dirinya dengan
jilbab. Lebih dari itu, jilbab adalah sebagai tanda kemulian istri dan
anak Nabi. Jadi, barangsiapa ingin mulia, berjilbablah dengan segera.
Ketujuh:
Beliau menyatakan pula, “Asbab nuzul ayat-ayat tentang perintah jilbab
disimpulkan Musdah, bahwa jilbab lebih bernuansa ketentuan budaya
ketimbang ajaran agama. Sebab, jika jilbab memang diterapkan untuk
perlindungan atau meningkatkan prestige kaum perempuan beriman, maka
dengan demikian dapatlah dianggap bahwa jilbab merupakan sesuatu yang
lebih bernuansa budaya daripada bersifat religi.”
Sanggahan:
Tidak sedikit komentar kaum penentang
jilbab mengatakan, kalau jilbab adalah hasil adopsi budaya bangsa Arab.
Sehingga menurut mereka, bangsa yang di luar Arab, tidak memiliki
kewajiban untuk mengikuti budaya Arab.
Jika katakan jilbab adalah budaya Arab,
maka kita mesti lihat sejarah Arab sebelum Islam itu datang. Kalau kita
lihat penjelasan ulama, ternyata menunjukkan bahwa jilbab itu datang
ketika Islam itu ada. Karena sebelumnya di zaman jahiliyah, wanita itu
telanjang dada. Ibnu Katsir dalam tafsirnya mengatakan, “Perempuan pada
zaman jahiliyah biasa melewati laki-laki dengan keadaan telanjang dada,
tanpa ada kain sedikit pun. Kadang-kadang mereka memperlihatkan leher,
rambut dan telinganya. Kemudian Allah akhirnya memerintahkan wanita
beriman untuk menutupi diri dari hal-hal semacam tadi.
Jelas sudah, kalau jilbab yang dianjurkan
Islam beda jauh dengan budaya Arab. Lalu ada alasan lainkah yang
mengatakan jilbab itu sebuah budaya Arab? Jika merujuk pada jilbab yang
menutup aurat, jelas Islam lah yang menggagasnya.
Ayat-ayat dan hadits yang telah kami
jelaskan di awal sudah menunjukkan bahwa jilbab adalah bukan budaya
arab, namun ajaran Islam yang langsung diperintahkan oleh Allah. Ajaran
Islam bersifat universal untuk orang Arab dan non Arab sebagaimana Allah
Ta’ala berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا رَحْمَةً لِلْعَالَمِينَ
“Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”(QS.
Al Anbiya’: 107). Ibnu Jarir Ath Thobari berkata bahwa tidaklah Nabi
Muhammad itu diutus melainkan sebagai rahmat bagi seluruh makhluk Allah
yang beliau diutus kepadanya.
Demikian beberapa penjelasan sebagai
sanggahan pada beberapa syubhat atau kerancuan yang biasa disampaikan
orang-orang Liberal atau JIL. Moga Allah terus menguatkan iman kita
dengan akidah dan pemahaman agama yang benar, serta menghindarkan kita
dari pemahaman orang-orang yang tak tahu arah.
Wallahu waliyyut taufiq.
Sistem Pemerintahan Islam (Kafilah)
A. Pemerintahan Islam Bukan Monarchi
Sistem
pemerintahan Islam tidak berbentuk monarchi. Bahkan, Islam tidak
mengakui sistem monarchi, maupun yang sejenis dengan sistem
monarchi.Kalau sistem monarchi, pemerintahannya menerapkan sistem waris
(putra mahkota), dimana singgasana kerajaan akan diwarisi oleh seorang
putra mahkota dari orang tuanya, seperti kalau mereka mewariskan harta
warisan. Sedangkan sistem pemerintahan Islam tidak mengenal sistem
waris. Namun, pemerintahan akan dipegang oleh orang yang dibai'at oleh
umat dengan penuh ridla dan bebas memilih.
Sistem monarchi telah
memberikan hak tertentu serta hak-hak istimewa khusus untuk raja saja,
yang tidak akan bisa dimiliki oleh yang lain. Sistem ini juga telah
menjadikan raja di atas undang-undang, dimana secara pribadi memiliki
kekebalan hukum. Dan kadangkala raja hanya simbol bagi umat, dan tidak
memiliki kekuasaan apa-apa, sebagaimana raja-raja di Eropa. Atau
kadangkala menjadi raja dan sekaligus berkuasa penuh, bahkan menjadi
sumber hukum. Dimana raja bebas mengendalikan negeri dan rakyatnya
dengan sesuka hatinya, sebagaimana raja di Saudi, Maroko, dan Yordania.
Lain
halnya dengan sistem Islam, sistem Islam tidak pernah memberikan
kekhususan kepada khalifah atau imam dalam bentuk hak-hak istimewa atau
hak-hak khusus. Khalifah tidak memiliki hak, selain hak yang sama dengan
hak rakyat biasa. Khalifah juga bukan hanya sebuah simbol bagi umat
yang menjadi khalifah namun tidak memiliki kekuasaan apa-apa. Disamping
khalifah juga bukan sebuah simbol yang berkuasa dan bisa memerintah
serta mengendalikan negara beserta rakyatnya dengan sesuka hatinya.
Namun, khalifah adalah wakil umat dalam masalah pemerintahan dan
kekuasaan, yang mereka pilih dan mereka bai'at dengan penuh ridla agar
menerapkan syari'at Allah atas diri mereka. Sehingga khalifah juga tetap
harus terikat dengan hukum-hukum Islam dalam semua tindakan, hukum
serta pelayanannya terhadap kepentingan umat. Disamping itu, dalam
pemerintahan Islam tidak mengenal wilayatul ahdi (putra mahkota). Justru
Islam menolak adanya putra mahkota, bahkan Islam juga menolak mengambil
pemerintahan dengan cara waris. Islam telah menentukan cara mengambil
pemerintahan yaitu dengan bai'at dari umat kepada khalifah atau imam,
dengan penuh ridla dan bebas memilih.
B. Pemerintahan Islam Bukan Republik
Sistem
pemerintahan Islam juga bukan sistem republik. Dimana sistem republik
berdiri di atas pilar sistem demokrasi, yang kedaulatannya jelas di
tangan rakyat. Rakyatlah yang memiliki hak untuk memerintah serta
membuat aturan, termasuk rakyatlah yang kemudian memiliki hak untuk
menentukan seseorang untuk menjadi penguasa, dan sekaligus hak untuk
memecatnya. Rakyat juga berhak membuat aturan berupa undang-undang dasar
serta perundang-undangan, termasuk berhak menghapus, mengganti serta
merubahnya.
Sementara sistem pemerintahan Islam berdiri di atas
pilar akidah Islam, serta hukum-hukum syara'. Dimana kedaulatannya di
tangan syara', bukan di tangan umat. Dalam hal ini, baik umat maupun
khalifah tidak berhak membuat aturan sendiri. Karena yang berhak membuat
aturan adalah Allah SWT. semata. Sedangkan khalifah hanya memiliki hak
untuk mengadopsi hukum-hukum untuk dijadikan sebagai undang-undang dasar
serta perundang-undangan dari kitabullah dan sunah Rasul-Nya. Begitu
pula umat tidak berhak untuk memecat khalifah. Karena yang berhak
memecat khalifah adalah syara' semata. Akan tetapi, umat tetap berhak
untuk mengangkatnya. Sebab Islam telah menjadikan kekuasaan di tangan
umat. Sehingga umat berhak mengangkat orang yang mereka pilih dan mereka
bai'at untuk menjadi wakil mereka.
Dalam sistem republik dengan
bentuk presidensilnya, seorang presiden memiliki wewenang sebagai
seorang kepala negara serta wewenang sebagai seorang perdana menteri,
sekaligus. Karena tidak ada perdana menteri dan yang ada hanya para
menteri, semisal presiden Amerika. Sedangkan dalam sistem republik
dengan bentuk parlementer, terdapat seorang presiden sekaligus dengan
perdana menterinya. Dimana wewenang pemerintahan dipegang oleh perdana
menteri, bukan presiden. Seperti republik Prancis dan Jerman Barat.
Sedangkan
di dalam sistem khilafah tidak ada menteri, maupun kementerian bersama
seorang khalifah seperti halnya dalam konsep demokrasi, yang memiliki
spesialisasi serta departemen-departemen tertentu. Yang ada dalam sistem
khilafah Islam hanyalah para mu'awin yang senantiasa dimintai bantuan
oleh khalifah. Tugas mereka adalah membantu khalifah dalam tugas-tugas
pemerintahan. Mereka adalah para pembantu dan sekaligus pelaksana.
Ketika khalifah memimpin mereka, maka khalifah memimpin mereka bukan
dalam kapasitasnya sebagai perdana menteri atau kepala lembaga
eksekutif, melainkan hanya sebagai kepala negara. Sebab dalam Islam
tidak ada kabinet menteri yang bertugas membantu khalifah dengan
memiliki wewenang tertentu. Sehingga mu'awin tetap hanyalah pembantu
khalifah untuk melaksanakan wewenang-wewenangnya.
Selain dua
bentuk tersebut --baik presidensil maupun parlementer-- dalam sistem
republik, presiden bertanggungjawab di depan rakyat atau yang mewakili
suara rakyat. Dimana rakyat beserta wakilnya berhak untuk memberhentikan
presiden, karena kedaulatan di tangan rakyat.
Kenyataan ini
berbeda dengan sistem kekhilafahan. Karena seorang amirul mukminin
(khalifah), sekalipun bertanggungjawab di hadapan umat dan wakil-wakil
mereka, termasuk menerima kritik dan koreksi dari umat serta
wakil-wakilnya, namun umat termasuk para wakilnya tidak berhak untuk
memberhentikannya. Amirul mukminin juga tidak akan diberhentikan kecuali
apabila menyimpang dari hukum syara' dengan penyimpangan yang
menyebabkan harus diberhentikan. Adapun yang menentukan pemberhentiannya
adalah hanya mahkamah madhalim.
Kepemimpinan dalam sistem
republik, baik yang menganut presidensil maupun parlementer, selalu
dibatasi dengan masa jabatan tertentu, yang tidak mungkin bisa melebihi
dari masa jabatan tersebut. Sementara di dalam sistem khilafah, tidak
terdapat masa jabatan tertentu. Namun, batasannya hanyalah apakah masih
menerapkan hukum syara' atau tidak. Karena itu, selama khalifah
melaksanakan hukum syara', dengan cara menerapkan hukum-hukum Islam
kepada seluruh manusia di dalam pemerintahannya, yang diambil dari
kitabullah serta sunah Rasul-Nya maka dia tetap menjadi khalifah,
sekalipun masa jabatannya amat panjang. Dan apabila dia telah
meninggalkan hukum syara' serta menjauhkan penerapan hukum-hukum
tersebut, maka berakhirlah masa jabatannya, sekalipun baru sehari
semalam. Sehingga tetap wajib diberhentikan.
Dari pemaparan di
atas, maka nampak jelas perbedaan yang sedemikian jauh antara sistem
kekhilafahan dengan sistem republik, antara presiden dalam sistem
republik dengan khalifah dalam sistem Islam. Karena itu, sama sekali
tidak diperbolehkan untuk mengatakan bahwa sistem pemerintahan Islam
adalah sistem republik, atau mengeluarkan statemen: "Republik Islam".
Sebab, terdapat perbedaan yang sedemikian besar antara kedua sistem
tersebut pada aspek asas yang menjadi dasar tegaknya kedua sistem
tersebut, serta adanya perbedaan di antara keduanya baik dari segi
bentuk maupun substansi-substansi masalah berikutnya.
C. Pemerintahan Islam Bukan Kekaisaran
Sistem
pemerintahan Islam juga bukan sistem kekaisaran, bahkan sistem
kekaisaran jauh sekali dari ajaran Islam. Sebab wilayah yang diperintah
dengan sistem Islam --sekalipun ras dan sukunya berbeda serta
sentralisasi pada pemerintah pusat, dalam masalah pemerintahan-- tidak
sama dengan wilayah yang diperintah dengan sistem kekaisaran. Bahkan,
berbeda jauh dengan sistem kekaisaran, sebab sistem ini tidak menganggap
sama antara ras satu dengan yang lain dalam hal pemberlakuan hukum di
dalam wilayah kekaisaran. Dimana sistem ini telah memberikan
keistimewaan dalam bidang pemerintahan, keuangan dan ekonomi di wilayah
pusat.
Sedangkan tuntunan Islam dalam bidang pemerintahan adalah
menganggap sama antara rakyat yang satu dengan rakyat yang lain dalam
wilayah-wilayah negara. Islam juga telah menolak ikatan-ikatan kesukuan
(ras). Bahkan, Islam memberikan semua hak-hak rakyat dan kewajiban
mereka kepada orang non Islam yang memiliki kewarganegaraan. Dimana
mereka memperoleh hak dan kewajiban sebagaimana yang menjadi hak dan
kewajiban umat Islam. Lebih dari itu, Islam senantiasa memberikan
hak-hak tersebut kepada masing-masing rakyat --apapun madzhabnya-- yang
tidak diberikan kepada rakyat negara lain, meskipun muslim. Dengan
adanya pemerataan ini, jelas bahwa sistem Islam berbeda jauh dengan
sistem kekaisaran. Dalam sistem Islam, tidak ada wilayah-wilayah yang
menjadi daerah kolonial, maupun lahan ekploitasi serta lahan subur yang
senantiasa dikeruk untuk wilayah pusat. Dimana wilayah-wilayah tersebut
tetap menjadi satu kesatuan, sekalipun sedemikian jauh jaraknya antara
wilayah tersebut dengan ibu kota negara Islam. Begitu pula masalah
keragaman ras warganya. Sebab, setiap wilayah dianggap sebagai satu
bagian dari tubuh negara. Rakyat yang lainnya juga sama-sama memiliki
hak sebagaimana hak rakyat yang hidup di wilayah pusat, atau
wilayah-wilayah lainnya. Dimana otoritas pejabatnya, sistem serta
perundang-undangannya sama semua dengan wilayah-wilayah yang lain.
D. Pemerintahan Islam Bukan Federasi
Sistem
pemerintahan Islam juga bukan sistem federasi, yang membagi
wilayah-wilayahnya dalam otonominya sendiri-sendiri, dan bersatu dalam
pemerintahan secara umum. Tetapi sistem pemerintahan Islam adalah sistem
kesatuan. Yang mecakup seluruh negeri seperti Marakis di bagian barat
dan Khurasan di bagian timur. Seperti halnya yang dinamakan dengan
mudiriyatul fuyum ketika ibu kota Islam berada di Kaero. Harta kekayaan
seluruh wilayah negera Islam dianggap satu. Begitu pula anggaran
belanjanya akan diberikan secara sama untuk kepentingan seluruh rakyat,
tanpa melihat daerahnya. Kalau seandainya ada wilayah telah mengumpulkan
pajak, sementara kebutuhannya kecil, maka wilayah tersebut akan diberi
sesuai dengan tingkat kebutuhannya, bukan berdasarkan hasil pengumpulan
hartanya. Kalau seandainya ada wilayah, yang pendapatan daerahnya tidak
bisa mencukupi kebutuhannya, maka negara Islam tidak akan
mempertimbangkannya. Tetapi, wilayah tersebut tetap akan diberi anggaran
belanja dari anggaran belanja secara umum, sesuai dengan tingkat
kebutuhannya. Baik pajaknya cukup untuk memenuhi kebutuhannya atau
tidak.
Sistem pemerintahan Islam juga tidak berbentuk federasi,
melainkan berbentuk kesatuan. Karena itu, sistem pemerintahan Islam
adalah sistem yang berbeda sama sekali dengan sistem-sistem yang telah
populer lainnya saat ini. Baik dari aspek landasannya maupun
substansi-substansinya. Sekalipun dalam beberapa prakteknya hampir ada
yang menyerupai dengan praktek dalam sistem yang lain. Disamping hal-hal
yang telah dipaparkan sebelumnya, sistem pemerintahan Islam adalah
sistem pemerintahan sentralisasi, dimana penguasa tertinggi cukup di
pusat. Pemerintahan pusat mempunyai otoritas yang penuh terhadap seluruh
wilayah negara, baik dalam masalah-masalah yang kecil maupun yang
besar. Negara Islam juga tidak akan sekali-kali mentolelir terjadinya
pemisahan salah satu wilayahnya, sehingga wilayah-wilayah tersebut tidak
akan lepas begitu saja. Negaralah yang akan mengangkat para panglima,
wali dan amil, para pejabat dan penanggung jawab dalam urusan harta dan
ekonomi. Negara juga yang akan mengangkat para qadli di setiap
wilayahnya. Negara juga yang mengangkat orang yang bertugas menjadi
pejabat (hakim). Disamping negara yang akan mengurusi secara langsung
seluruh urusan yang berhubungan dengan pemerintahan di seluruh negeri.
Pendek kata, sistem pemerintahan di dalam Islam adalah sistem khilafah.
Dan ijma' sahabat telah sepakat terhadap kesatuan khilafah dan kesatuan
negara serta ketidakbolehan berbai'at selain kepada satu khalifah.
Sistem ini telah disepakati oleh para imam mujtahid serta jumhur
fuqaha'. Yaitu apabila ada seorang khalifah dibai'at, padahal sudah ada
khalifah yang lain atau sudah ada bai'at kepada seorang khalifah, maka
khalifah yang kedua harus diperangi, sehingga khalifah yang pertama
terbai'at. Sebab secara syar'i, bai'at telah ditetapkan untuk orang yang
pertama kali dibai'at dengan bai'at yang sah.
NIKAH BEDA AGAMA
Seringkali kita jumpai pertanyaan “apa hukumnya bila nikah
beda agama, baik yg laki-laki atau perempuannya yg muslim, apa sah
atau tidak menurut Islam ?”. Pertanyaan ini sering muncul terutama
ketika kita berada di sebuah negara yang mayoritas penduduknya non
muslim, seperti di Australia ini. Untuk itu pada rubrik fikih kali
ini tim redaksi menampilkan fikih berkenaan dengan nikah beda
Agama.
Ada 2 jenis menikah beda agama:
1. Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
2. Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Perempuan beragama Islam menikah dengan laki-laki non-Islam
Hukum mengenai perempuan beragama Islam menikah dengan
laki-laki non-Islam adalah jelas-jelas dilarang (haram). Dalil yg
digunakan untuk larangan menikahnya muslimah dengan laki-laki non
Islam adalah Surat Al Baqarah(2):221,“Dan janganlah kamu nikahi
wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita
budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita mukmin) sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik dari orang musyrik
walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah
menerangkan ayat-ayat-Nya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia
supaya mereka mengambil pelajaran.”
Jadi,
wanita musliman dilarang atau diharamkan menikah dengan non
muslim, apapun alasannya. Hal ini sebagaimana dinyatakan dalam
Alquran di atas. Bisa dikatakan, jika seorang muslimah memaksakan dirinya menikah dengan laki-laki non Islam, maka akan dianggap berzina.
Laki-laki beragama Islam menikah dengan perempuan non-Islam
Pernikahan seorang lelaki Muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:
1. Lelaki Muslim dengan perempuan Ahli Kitab. Yang dimaksud dg Ahli
Kitab di sini adalah agama Nasrani dan Yahudi (agama samawi).
Hukumnya boleh, dengan dasar Surat Al Maidah(5):5,“Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab
itu halal bagimu, dan makanan kamu halal pula bagi mereka. (Dan
dihalalkan mengawini) wanita-wanita yang menjaga kehormatan di
antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu,
bila kamu telah membayar maskawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula)
menjadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir sesudah beriman
(tidak menerima hukum-hukum Islam) maka hapuslah amalannya dan ia di hari akhirat termasuk orang-orang merugi.”
2.
Lelaki Muslim dg perempuan non Ahli Kitab. Untuk kasus ini, banyak
ulama yg melarang, dengan dasar Al Baqarah(2):222,“Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik,
sebelum mereka beriman. Sesungguhnya wanita budak yang mukmin
lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Dan
janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin
lebih baik dari orang musyrik walaupun dia menarik hatimu. Mereka
mengajak ke neraka, sedang Allah mengajak ke surga dan ampunan
dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil
pelajaran.”
Banyak
ulama yg menafsirkan bahwa Al Kitab di sini adalah Injil dan
Taurat. Dikarenakan agama Islam, Nasrani dan Yahudi berasal dari
sumber yg sama, agama samawi, maka para ulama memperbolehkan
pernikahan jenis ini. Untuk kasus ini, yg dimaksud dengan musyrik
adalah penyembah berhala, api, dan sejenisnya. Untuk poin 2,
menikah dengan perempuan yang bukan ahli kitab, para ulama sepakat
melarang.
Dari
sebuah literatur, dapatkan keterangan bahwa Hindu, Budha atau
Konghuchu tidak termasuk agama samawi (langit) tapi termasuk agama
ardhiy (bumi). Karena benda yang mereka katakan sebagai kitab suci
itu bukanlah kitab yang turun dari Allah SWT. Benda itu adalah
hasil pemikiran para tokoh mereka dan filosof mereka. Sehingga kita
bisa bedakan bahwa kebanyakan isinya lebih merupakan petuah,
hikmah, sejarah dan filsafat para tokohnya.
Kita tidak akan menemukan hukum dan syariat di dalamnya yang
mengatur masalah kehidupan. Tidak ada hukum jual beli, zakat, zina,
minuman keras, judi dan pencurian. Sebagaimana yang ada di dalam
Al-Quran Al-Karim, Injil atau Taurat. Yang ada hanya etika, moral
dan nasehat. Benda itu tidak bisa dikatakan sebagai kalam suci dari
Allah yang diturunkan melalui malaikat Jibril dan berisi hukum
syariat. Sedangkan Taurat, Zabur dan Injil, jelas-jelas kitab
samawi yang secara kompak diakui sebagai kitabullah.
Sementara
itu, Imam Syafi’i dalam kitab klasiknya, Al-Umm, mendefinisikan
Kitabiyah dan non Kitabiyah sebagai berikut, “Yang dimaksud dengan
ahlul kitab adalah orang-orang Yahudi
dan Nasrani yang berasal dari keturunan bangsa Israel asli. Adapun
umat-umat lain yang menganut agama Yahudi dan Nasrani, rnaka
mereka tidak termasuk dalam kata ahlul kitab. Sebab, Nabi Musa a.s.
dan Nabi Isa a.s. tidak diutus kecuali untuk Israil dan dakwah mereka
juga bukan ditujukan bagi umat-umat setelah Bani israil.”
Sementara
itu, para jumhur shahabat membolehkan laki-laki muslim menikahi
wanita kitabiyah, diantaranya adalah Umar bin Al-Khattab, Ustman
bin Affan, Jabir, Thalhah, Huzaifah. Bersama dengan para shahabat
Nabi juga ada para tabi`Insya Allah seperti Atho`, Ibnul Musayib,
al-Hasan, Thawus, Ibnu Jabir Az-Zuhri. Pada generasi berikutnya ada
Imam Asy-Syafi`i, juga ahli Madinah dan Kufah.
Yang
sedikit berbeda pendapatnya hanyalah Imam Malik dan Imam Ahmad bin
Hanbal, dimana mereka berdua tidak melarang hanya memkaruhkan
menikahi wanita kitabiyah selama ada wanita muslimah.
Pendapat
yang mengatakan bahwa nasrani itu musyrik adalah pendapat Ibnu
Umar. Beliau mengatakan bahwa nasrani itu musyrik. Selain itu ada
Ibnu Hazm yang mengatakan bahwa tidak ada yang lebih musyrik dari
orang yang mengatakan bahwa tuhannya adalah Isa. Sehingga menurut
mereka menikahi wanita ahli kitab itu haram hukumnya karena mereka
adalah musyrik.
Namun
jumhur Ulama tetap mengatakan bahwa wanita kitabiyah itu boleh
dinikahi, meski ada perbedaan dalam tingkat kebolehannya. Namun
demikian, wanita muslimah yang komitmen dan bersungguh-sungguh
dengan agamanya tentu lebih utama dan lebih layak bagi seorang
muslim dibanding wanita ahlul kitab. Juga apabila ia khawatir
terhadap akidah anak-anak yang lahir nanti, serta apabila jumlah
pria muslim sedikit sementarawanita muslimah banyak, maka dalam
kondisi demikian ada yang berpendapat haram hukumnyapria muslim
menikah dengan wanita non muslim.
Secara ringkas hukum nikah beda agama bisa kita bagi menjadi demikian :
1. Suami Islam, istri ahli kitab = boleh
2. Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram
3. Suami ahli kitab, istri Islam = haram
4. Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram
Dibolehkannya
laki-laki muslim menikah dengan wanita ahlul kitab namun tidak
sebaliknya karena laki-laki adalah pemimpin rumah tangga, berkuasa
atas isterinya, dan bertanggung jawab terhadap dirinya. Islam
menjamin kebebasan aqidah bagi isterinya, serta mlindungi hak-hak
dan kehormatannnya dengan syariat dan bimbingannya. Akan tetapi,
agama lain seperti nasrani dan yahudi tidak pernah memberikan
jaminan kepada isteri yang berlainan agama



Jakarta Time

0 komentar:
Posting Komentar